Distribusi
gempabumi-tsunami terkini di perairan Indonesia sebagian besar terjadi di zona
subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia yang membentang
dari pantai barat Sumatera, menerus ke selatan Jawa hingga ke selatan Kupang
NTT. Gempabumi-Tsunami yang terjadi pada zona tersebut adalah Sumba (1977),
Jawa Timur (1994), Aceh (2004), Nias (2008), dan Pangandaran (2006). Selain
itu, dua gempabumi-tsunami juga terjadi pada bagian utara Papua yakni Biak
(1996) danAitape (1998) dimana kedua gempa tersebut berpusat pada zona
pertemuan antara lempeng Eurasia dengan lempeng Pasifik.
Tsunami
yang terjadi di Pangandaran tergolong tsunami yang merusak. Dampak akibat
bencana ini adalah rusaknya infrastruktur daerah pesisir dan ratusan korban
jiwa. Tercatat pada Hotel Pangandaran yang berlokasi di dekat pesisir,
ketinggian tsunami mencapai 5.6 meter dan menyebabkan 137 korban jiwa. Di Desa
Parigi yang merupakan lokasi paling dekat dengan pusat gempa, terjadi kerusakan
parah. Permukiman penduduk yang sebagian besar dibangun dari bambu rata
dihempas tsunami. tercatat ketinggian tsunami di daerah ini mencapai 3.3 meter
dan 31 orang meninggal dunia.di demikian pula kerusakan yang terjadi di Desa
Suwuk. Meski lokasinya jauh dari pusat gempa tercatat ketinggian tsunami mencapai
6.9 meter dan korban jiwa 9 orang.
Distribusi
ketinggian tsunami selengkapnya berdasarkan survey yang dilakukan oleh Tsuji et
al., Fachrizal et al., dan Kato et al. adalah sebagai berikut.
Gambar 1.
Distribusi ketinggian tsunami Pangandaran.
Tampak
pada peta tersebut bahwa ketinggian tsunami terdistribusi tidak merata.
Semestinya semakin jauh dari pusat gempa ketinggian semakin rendah. Yang
terjadi malah pada pantai yang lokasinya jauh dari pusat gempa seperti pantai
Kuwaru ketinggiannya mencapai 7.6 meter. Pada pantai yang lokasinya dekat pusat
gempa misalnya pantai Klapa Genep ketinggiannya 6.5 meter. Ketinggian tsunami
paling besar terdeteksi di pantai Pangandaran yang memiliki morfologi pantai
melekuk yakni tercatat 7.7 meter.
Tingginya
gelombang tsunami di daerah pantai selain dipicu oleh besarnya gempa, lokasi
gempa, besarnya deformasi vertical dasar laut, dan jarak sumber gempa, juga
disebabkan oleh bentuk batimetri, topografi, dan geomorfologi pantai.
Tinggi
tsunami di laut yang dalam hanya sekitar 1-2 meter. Ketinggian ini semakin
membesar ketika mencapai pantai. Tinggi maksimum akan dicapai pada pantai
dengan morfologi landai dan berlekuk seperti teluk, muara sungai, dan tanjung.
Jarak jangkauan tsunami ke daratan sangat ditentukan oleh terjal landainya
morfologi pantai. Pada pantai yang terjal tsunami tidak akan terlalu jauh
mencapai daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai.
Sedangkan di pantai yang landai tsunami dapat menerjang sampai beberapa
kilometer masuk ke daratan.
Apabila
tsunami menjalar ke pantai yang menyempit dan dangkal, ia akan mengalami proses
yang sangat kompleks meliputi shoaling, refraksi, difraksi, refleksi dan
resonansi. Kawasan paling parah terkena tsunami adalah dataran landai dan pantainya
berbentuk teluk serta mempunyai tanjung seperti di Pangandaran. Energi yang
dihempaskan semakin tinggi ketika tsunami mencapai teluk dan lekukan pantai
pada daerah topografi seperti itu hal ini adalah akibat dari berkumpulnya energi
dari laut lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit. Di samping
itu dengan adanya tanjung, energi tsunami juga terkonsentrasi di tanjung
sebagai akibat dari proses refraksi-difraksi gelombang tsunami. Dampak dari
semua ini adalah daerah pangandaran dan sekitarnya digempur tsunami dari arah
barat dan timur.
Untuk
menggambarkan kekuatan tsunami yang terjadi, berikut adalah grafik hubungan
antara magnitude gempabumi (M) dengan mangnitudo tsunami (m).
Gambar 2. grafik
hubungan antara magnitude gempabumi (M) dengan mangnitudo tsunami (m).
Pada
grafik tersebut disajikan garis korelasi magnitude tsunami dan magnitude
gempabumi berdasarkan formula Koyoma et al., Watanabe, dan Hatori beserta beberapa
plot kejadian tsunami di Indonesia dan Filipina. Tampak bahwa kejadian tsunami
Pangandaran 2006 dengan magnitude gempabumi M 7.7 semestinya hanya dapat
membangkitkan tsunami dengan magnitude sekitar m 1.9 jika mengacu pada formula
Watanabe dan Koyama. Namun kenyataannya gempabumi tersebut menghasilkan tsunami
dengan magnitude yang jauh lebih besar yakni m 3.0. Sehingga formula yang
sesuai untuk menggambarkan korelasi magnitude tsunami dengan magnitude
gempabumi pada kasus ini adalah formula Hatori.
Berikut
adalah peta hasil survey di beberapa tempat mengenai dirasakan atau tidaknya
getaran gempabumi Pangandaran.
Gambar 3. Tempat
yang diduga merasakan gempabumi
Tampak
bahwa sebagian besar daerah survey tidak merasakan getaran gempabumi. Hanya
daerah Pangandaran yang merasakan dan daerah cilacap yang dilaporkan sedikit
merasaakan. Pada daerah manganti, Ayah, Suwuk, Keburuhan, Jatimalang, Galur,
dan Sandakan sama sekali tidak merasakan. Padahal semestinya gempa dengan kedalaman
dangkal dan kekuatan sebesar M 7.7 ini
dapat dirasakan di daerah survey tersebut. Jika ditinjau dari posisi pusat
gempanya yang interplate, yakni berada tepat di zona subduksi maka terdapat
suatu indikasi bahwa energi gempa telah terserap oleh sedimen-sedimen lunak
pada zona akresi sebelum akhirnya dipancarkan ke segala arah.
Gempabumi
Pangandaran 2006 walaupun kekuatannya tergolong sedang dan hamper tidak
dirasakan getarannya namun dapat membangkitkan tsunami yang besar dengan m 3.0.
Fuji dan Satake (2006) menggolongkan gempabumi ini sebagai gempabumi-tsunami.
Melalui
pemodelan Fuji dan Satake (2006) berdasarkan gempa utama dan sebaran gempa
susulan didapatkan distribusi slip membentang dari barat laut ke tenggara
sebagai berikut.
Gambar
4. Distribusi slip gempa Pangandaran
Fuji
dan Satake (2006) juga memodelkan distribusi ketinggian tsunami dengan asumsi
sudut dip 20o dislokasi maksimum 5 m.
Gambar 5. Model
distribusi ketinggian tsunami oleh Fuji dan Satake (2006)