Halaman

Minggu, 12 April 2015

Distribusi ketinggian tsunami gempabumi Jawa Tengah 17 Juli 2006

Distribusi gempabumi-tsunami terkini di perairan Indonesia sebagian besar terjadi di zona subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia yang membentang dari pantai barat Sumatera, menerus ke selatan Jawa hingga ke selatan Kupang NTT. Gempabumi-Tsunami yang terjadi pada zona tersebut adalah Sumba (1977), Jawa Timur (1994), Aceh (2004), Nias (2008), dan Pangandaran (2006). Selain itu, dua gempabumi-tsunami juga terjadi pada bagian utara Papua yakni Biak (1996) danAitape (1998) dimana kedua gempa tersebut berpusat pada zona pertemuan antara lempeng Eurasia dengan lempeng Pasifik.
Tsunami yang terjadi di Pangandaran tergolong tsunami yang merusak. Dampak akibat bencana ini adalah rusaknya infrastruktur daerah pesisir dan ratusan korban jiwa. Tercatat pada Hotel Pangandaran yang berlokasi di dekat pesisir, ketinggian tsunami mencapai 5.6 meter dan menyebabkan 137 korban jiwa. Di Desa Parigi yang merupakan lokasi paling dekat dengan pusat gempa, terjadi kerusakan parah. Permukiman penduduk yang sebagian besar dibangun dari bambu rata dihempas tsunami. tercatat ketinggian tsunami di daerah ini mencapai 3.3 meter dan 31 orang meninggal dunia.di demikian pula kerusakan yang terjadi di Desa Suwuk. Meski lokasinya jauh dari pusat gempa tercatat ketinggian tsunami mencapai 6.9 meter dan korban jiwa 9 orang.
Distribusi ketinggian tsunami selengkapnya berdasarkan survey yang dilakukan oleh Tsuji et al., Fachrizal et al., dan Kato et al. adalah sebagai berikut.

Gambar 1. Distribusi ketinggian tsunami Pangandaran.

Tampak pada peta tersebut bahwa ketinggian tsunami terdistribusi tidak merata. Semestinya semakin jauh dari pusat gempa ketinggian semakin rendah. Yang terjadi malah pada pantai yang lokasinya jauh dari pusat gempa seperti pantai Kuwaru ketinggiannya mencapai 7.6 meter. Pada pantai yang lokasinya dekat pusat gempa misalnya pantai Klapa Genep ketinggiannya 6.5 meter. Ketinggian tsunami paling besar terdeteksi di pantai Pangandaran yang memiliki morfologi pantai melekuk yakni tercatat 7.7 meter.
Tingginya gelombang tsunami di daerah pantai selain dipicu oleh besarnya gempa, lokasi gempa, besarnya deformasi vertical dasar laut, dan jarak sumber gempa, juga disebabkan oleh bentuk batimetri, topografi, dan geomorfologi pantai.
Tinggi tsunami di laut yang dalam hanya sekitar 1-2 meter. Ketinggian ini semakin membesar ketika mencapai pantai. Tinggi maksimum akan dicapai pada pantai dengan morfologi landai dan berlekuk seperti teluk, muara sungai, dan tanjung. Jarak jangkauan tsunami ke daratan sangat ditentukan oleh terjal landainya morfologi pantai. Pada pantai yang terjal tsunami tidak akan terlalu jauh mencapai daratan karena tertahan dan dipantulkan kembali oleh tebing pantai. Sedangkan di pantai yang landai tsunami dapat menerjang sampai beberapa kilometer masuk ke daratan.
Apabila tsunami menjalar ke pantai yang menyempit dan dangkal, ia akan mengalami proses yang sangat kompleks meliputi shoaling, refraksi, difraksi, refleksi dan resonansi. Kawasan paling parah terkena tsunami adalah dataran landai dan pantainya berbentuk teluk serta mempunyai tanjung seperti di Pangandaran. Energi yang dihempaskan semakin tinggi ketika tsunami mencapai teluk dan lekukan pantai pada daerah topografi seperti itu hal ini adalah akibat dari berkumpulnya energi dari laut lepas ketika gelombang berada di celah yang lebih sempit. Di samping itu dengan adanya tanjung, energi tsunami juga terkonsentrasi di tanjung sebagai akibat dari proses refraksi-difraksi gelombang tsunami. Dampak dari semua ini adalah daerah pangandaran dan sekitarnya digempur tsunami dari arah barat dan timur.
Untuk menggambarkan kekuatan tsunami yang terjadi, berikut adalah grafik hubungan antara magnitude gempabumi (M) dengan mangnitudo tsunami (m).

Gambar 2. grafik hubungan antara magnitude gempabumi (M) dengan mangnitudo tsunami (m).

Pada grafik tersebut disajikan garis korelasi magnitude tsunami dan magnitude gempabumi berdasarkan formula Koyoma et al., Watanabe, dan Hatori beserta beberapa plot kejadian tsunami di Indonesia dan Filipina. Tampak bahwa kejadian tsunami Pangandaran 2006 dengan magnitude gempabumi M 7.7 semestinya hanya dapat membangkitkan tsunami dengan magnitude sekitar m 1.9 jika mengacu pada formula Watanabe dan Koyama. Namun kenyataannya gempabumi tersebut menghasilkan tsunami dengan magnitude yang jauh lebih besar yakni m 3.0. Sehingga formula yang sesuai untuk menggambarkan korelasi magnitude tsunami dengan magnitude gempabumi pada kasus ini adalah formula Hatori.
Berikut adalah peta hasil survey di beberapa tempat mengenai dirasakan atau tidaknya getaran gempabumi Pangandaran.


Gambar 3. Tempat yang diduga merasakan gempabumi

Tampak bahwa sebagian besar daerah survey tidak merasakan getaran gempabumi. Hanya daerah Pangandaran yang merasakan dan daerah cilacap yang dilaporkan sedikit merasaakan. Pada daerah manganti, Ayah, Suwuk, Keburuhan, Jatimalang, Galur, dan Sandakan sama sekali tidak merasakan. Padahal semestinya gempa dengan kedalaman dangkal dan kekuatan sebesar M  7.7 ini dapat dirasakan di daerah survey tersebut. Jika ditinjau dari posisi pusat gempanya yang interplate, yakni berada tepat di zona subduksi maka terdapat suatu indikasi bahwa energi gempa telah terserap oleh sedimen-sedimen lunak pada zona akresi sebelum akhirnya dipancarkan ke segala arah.
Gempabumi Pangandaran 2006 walaupun kekuatannya tergolong sedang dan hamper tidak dirasakan getarannya namun dapat membangkitkan tsunami yang besar dengan m 3.0. Fuji dan Satake (2006) menggolongkan gempabumi ini sebagai gempabumi-tsunami.
Melalui pemodelan Fuji dan Satake (2006) berdasarkan gempa utama dan sebaran gempa susulan didapatkan distribusi slip membentang dari barat laut ke tenggara sebagai berikut.


Gambar 4. Distribusi slip gempa Pangandaran

Fuji dan Satake (2006) juga memodelkan distribusi ketinggian tsunami dengan asumsi sudut dip 20o dislokasi maksimum 5 m.



Gambar 5. Model distribusi ketinggian tsunami oleh Fuji dan Satake (2006)