Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita rasakan eksistensi warna-warni yang
melingkupi sekitar kita seperti birunya kubah langit, hijaunya hamparan
dedaunan padi, dan keruhnya perairan sungai yang terpolusi. Segala bentuk
pandangan yang kita rasakan terjadi di dalam mata kita dengan adanya sumber
cahaya baik diradiasikan secara langsung maupun cahaya akibat pemantulan oleh
benda-benda. Tanpa adanya sumber cahaya, tidak akan ada cahaya yang sampai ke
mata kita dan akibatnya sekitar kita hanya akan tampak gelap gulita. Dalam posting
kali ini akan dibahas konsep dasar bagaimana warna bisa terjadi. Mari kita
simak bersama.
Matahari meradiasikan cahaya dalam bentuk gelombang elektromagnetik ke
segala arah. Radiasi tersebut merupakan superposisi dari berbagai radiasi
dengan panjang gelombang berbeda yang terdiri atas gamma, sinar-X, untraviolet,
cahaya tampak, inframerah, gelombang mikro, dan gelombang radio.
Gambar 1. Spektrum panjang gelombang
radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh matahari (http://www.ces.fau.edu/).
Ketika radiasi matahari berinteraksi dengan atmosfer bumi, maka radiasi
tersebut dapat mengalami penyerapan, pemantulan, atau pembiasan akibat material
yang dikenainya. Kemampuan suatu material untuk merespon energi radiasi
matahari bergantung pada sifat fisisnya (densitas dan komposisi material) dan
panjang gelombang radiasi yang mengenainya. Hampir setengah bagian radiasi
matahari yang mencapai atmosfer bumi adalah cahaya tampak. Cahaya tampak
merupakan sekumpulan radiasi dengan panjang gelombang yang mampu direspon oleh
mata manusia. Panjang gelombang cahaya tampak berkisar antara 0,4 μm hingga 0,7
μm. Oleh karena itu, radiasi dengan panjang gelombang kurang dari 0,4 μm atau
lebih dari 0,7 μm tidak mampu direspon oleh mata manusia. Cahaya tampak terdiri
atas berbagai cahaya monokromatik dengan panjang gelombang berbeda-beda yakni
merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Dalam penjalarannya dari
matahari, cahaya monokromatik ini membentuk superposisi yang disebut cahaya polikromatik.
Cahaya polikromatik inilah yang memberikan kesan warna putih pada mata kita.
Ketika radiasi mencapai kornea mata kita, maka iris akan mengatur
intensitas cahaya dan diteruskan ke lensa mata yang akan mengatur fokus cahaya
ke retina melewati fluida vitreous humor. Analog dengan
prinsip kerja kamera, iris berfungsi seperti diafragma kamera, lensa sebagai
pengatur fokus cahaya, kornea dan vitreous humor sebagai
pembias cahaya, dan retina sebagai film.
Gambar 2. Bagian-bagian mata dan mekanisme penjalaran
cahaya dari suatu objek ke fotoreseptor retina.
Retina terdiri atas sel-sel fotoreseptor yang sensitif terhadap panjang
gelombang cahaya. Sel-sel fotoreseptor ini membawa informasi cahaya yang sampai
pada retina dan meneruskannya ke otak kita untuk dilakukan pemrosesan lebih
lanjut sehingga menghasilkan kesan warna-warni atau gelap-terang pada pandangan
kita. Sel-sel fotoreseptor dibedakan menjadi sel rod dan sel cone
berdasarkan bentuknya.
Gambar 3. Fotoreseptor pada retina yang terdiri atas
sel-sel rod dan sel-sel cone.
Pada mata kita terdapat sekitar 5 juta sel cone dan 100
juta sel rod yang tersebar tidak merata
di retina. Sel rod berfungsi merespon semua
panjang gelombang cahaya tampak sehingga membuat kita mampu membedakan gelap
dan terang. Sel cone berfungsi merespon hanya
panjang gelombang tertentu dari cahaya tampak sehingga membuat kita mampu
membedakan warna-warna. Sel cone banyak
terkonsentrasi pada fovea yakni bagian tengah retina yang
berhadapan langsung dengan lensa. Pada fovea terdapat
160.000 sel cone per mm2. Sel cone memiliki
sensitivitas yang rendah pada cahaya sehingga membuat kita susah membedakan
warna di tempat gelap. Pandangan di tempat gelap sebagian besar bergantung pada
sel rod sehingga kesan pandangan yang
kita rasakan adalah abu-abu dengan ketajaman yang rendah. Di tempat gelap kita
akan kesulitan memandang objek kecil dengan pandangan yang lurus, hal ini
terjadi karena dengan sudut pandangan yang lurus cahaya dari objek akan jatuh
pada fovea yang kaya akan sel cone. Hal tersebut
dapat diatasi dengan sedikit memiringkan sudut pandangan sehingga cahaya yang
masuk ke mata jatuh pada sel-sel rod dan
pandangan menjadi lebih jelas. Sel cone pada mata manusia terdiri atas tiga jenis berdasarkan molekul opsin penyusunnya. Komposisi opsin ini menentukan kepekaan sel cone pada warna tertentu.
Gambar 4. Grafik kemampuan tiga jenis
sel cone dalam menyerap masing-masing panjang gelombang cahaya.
Buta warna terjadi akibat tidak adanya atau tidak berfungsinya satu atau
lebih dari ketiga jenis sel cone. Seberapa
banya jenis sel cone yang tidak
berfungsi inilah yang menentukan buta warna parsial atau buta warna total. Sebagian
besar buta warna terjadi pada tidak berfungsinya sel cone warna merah-hijau.
Warna putih terjadi ketika seluruh panjang gelombang cahaya tampak mencapai
sel-sel cone dengan intensitas yang
hampir sama besar. Saat siang hari kita melihat matahari berwarna putih hal ini
terjadi karena keseluruhan panjang gelombang cahaya tampak dari matahari dapat
mencapai sel cone. Namun saat malam
hari bintang yang lebih dingin dari matahari akan tampak lebih merah karena bintang
tersebut meradiasikan cahaya dengan panjang gelombang yang panjang. Bintang yang
lebih panas dari matahari akan meradiasikan cahaya dengan panjang gelombang
yang pendek sehingga tampak lebih biru. Bintang yang bersuhu hampir sama dengan
matahari akan tampak berwarna putih. Perubahan panjang gelombang radiasi akibat
suhu ini dapat dijelaskan dengan hukum pergeseran Wien yang menyatakan bahwa
ketika temperatur meningkat maka puncak emisi spektral menjadi lebih tinggi dan
panjang gelombangnya akan bergeser. Gambar berikut menunjukkan pergeseran
panjang gelombang dari merah menjadi ungu akibat kenaikan temperatur.
Gambar 5. Grafik emisi spektral
radiasi pada tiga temperatur berbeda.
Material-material yang tidak cukup panas untuk mengemisikan radiasi di
area panjang gelombang cahaya tampak dapat memiliki warna dengan cara menyerap
secara selektif panjang gelombang tertentu dan memantulkan panjang gelombang
cahaya tampak lainnya yang berasal dari suatu sumber radiasi seperti matahari
atau lampu. Misalnya benda-benda di sekitar kita yang tampak merah adalah
akibat penyerapan seluruh panjang gelombang cahaya tampak oleh benda tersebut
kecuali panjang gelombang merah yang dipantulkan hingga sampai ke mata kita. Benda
berwarna biru terjadi karena benda tersebut hanya memantulkan panjang gelombang
biru ke mata kita dan menyerap panjang gelombang cahaya lainnya. Demikian pula
yang terjadi pada warna-warna lainnya. Namun ketika benda menyerap keseluruhan
panjang gelombang cahaya tampak dan tidak ada yang dipantulkan ke mata kita
maka terjadilah warna hitam. Ketika keseluruhan panjang gelombang tampak
dipantulkan oleh suatu benda ke mata kita dan tidak ada yang diserap maka
terjadilah warna putih.
Gambar 6. Ilustrasi pembentukan warna
merah, hitam, dan putih dari cahaya polikromatik matahari. Warna merah hanya
memantulkan panjang gelombang merah ke mata dan menyerap panjang gelombang
warna lainnya (www.dayglo.com dan www.chem.purdue.edu).
Sampai di sini kita telah tahu konsep dasar mengapa benda memiliki warna,
apa yang terjadi pada mata kita sehingga kita bisa melihat warna, dan mengapa
bintang dan matahari kadang berbeda warna. Namun mengapa langit berwarna biru
ketika siang?, mengapa langit berwarna jingga ketika pagi dan senja?, mengapa
awan berwarna putih?, mengapa awan terkadang berwarna hitam ketika hujan
lebat?, mengapa gunung berwarna biru ketika dilihat dari kejauhan?, dan mengapa
matahari berwarna merah ketika senja? Untuk menjawabnya tunggu posting
selanjutnya.
Referensi :
Ahrens, C. D., Henson, R., 2014, Meteorology today : an introduction to weather, climate, and the environment, 11th ed., Massachusetts, Cengage Learning.
Sadava, D. E., Hillis, D. M., Heller, H. C., Berenbaum, M. R., 2011, Life: The Science of Biology, 9th ed., Virginia, W. H. Freeman & Co.
Young, H. D., Freedman, R. A., Ford, A. L., 2012, Sears and Zemansky's university physics : with modern physics, 13th ed., Addison-Wesley.