Halaman

Jumat, 15 April 2016

Gelombang Cahaya Tampak : Asal-usul Warna di Kehidupan Kita

Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita rasakan eksistensi warna-warni yang melingkupi sekitar kita seperti birunya kubah langit, hijaunya hamparan dedaunan padi, dan keruhnya perairan sungai yang terpolusi. Segala bentuk pandangan yang kita rasakan terjadi di dalam mata kita dengan adanya sumber cahaya baik diradiasikan secara langsung maupun cahaya akibat pemantulan oleh benda-benda. Tanpa adanya sumber cahaya, tidak akan ada cahaya yang sampai ke mata kita dan akibatnya sekitar kita hanya akan tampak gelap gulita. Dalam posting kali ini akan dibahas konsep dasar bagaimana warna bisa terjadi. Mari kita simak bersama.

Matahari meradiasikan cahaya dalam bentuk gelombang elektromagnetik ke segala arah. Radiasi tersebut merupakan superposisi dari berbagai radiasi dengan panjang gelombang berbeda yang terdiri atas gamma, sinar-X, untraviolet, cahaya tampak, inframerah, gelombang mikro, dan gelombang radio.

Gambar 1. Spektrum panjang gelombang radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh matahari (http://www.ces.fau.edu/).

Ketika radiasi matahari berinteraksi dengan atmosfer bumi, maka radiasi tersebut dapat mengalami penyerapan, pemantulan, atau pembiasan akibat material yang dikenainya. Kemampuan suatu material untuk merespon energi radiasi matahari bergantung pada sifat fisisnya (densitas dan komposisi material) dan panjang gelombang radiasi yang mengenainya. Hampir setengah bagian radiasi matahari yang mencapai atmosfer bumi adalah cahaya tampak. Cahaya tampak merupakan sekumpulan radiasi dengan panjang gelombang yang mampu direspon oleh mata manusia. Panjang gelombang cahaya tampak berkisar antara 0,4 μm hingga 0,7 μm. Oleh karena itu, radiasi dengan panjang gelombang kurang dari 0,4 μm atau lebih dari 0,7 μm tidak mampu direspon oleh mata manusia. Cahaya tampak terdiri atas berbagai cahaya monokromatik dengan panjang gelombang berbeda-beda yakni merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Dalam penjalarannya dari matahari, cahaya monokromatik ini membentuk superposisi yang disebut cahaya polikromatik. Cahaya polikromatik inilah yang memberikan kesan warna putih pada mata kita.
Ketika radiasi mencapai kornea mata kita, maka iris akan mengatur intensitas cahaya dan diteruskan ke lensa mata yang akan mengatur fokus cahaya ke retina melewati fluida vitreous humor. Analog dengan prinsip kerja kamera, iris berfungsi seperti diafragma kamera, lensa sebagai pengatur fokus cahaya, kornea dan vitreous humor sebagai pembias cahaya, dan retina sebagai film.


Gambar 2. Bagian-bagian mata dan mekanisme penjalaran cahaya dari suatu objek ke fotoreseptor retina.

Retina terdiri atas sel-sel fotoreseptor yang sensitif terhadap panjang gelombang cahaya. Sel-sel fotoreseptor ini membawa informasi cahaya yang sampai pada retina dan meneruskannya ke otak kita untuk dilakukan pemrosesan lebih lanjut sehingga menghasilkan kesan warna-warni atau gelap-terang pada pandangan kita. Sel-sel fotoreseptor dibedakan menjadi sel rod dan sel cone berdasarkan bentuknya.

Gambar 3. Fotoreseptor pada retina yang terdiri atas sel-sel rod dan sel-sel cone.

Pada mata kita terdapat sekitar 5 juta sel cone dan 100 juta sel rod yang tersebar tidak merata di retina. Sel rod berfungsi merespon semua panjang gelombang cahaya tampak sehingga membuat kita mampu membedakan gelap dan terang. Sel cone berfungsi merespon hanya panjang gelombang tertentu dari cahaya tampak sehingga membuat kita mampu membedakan warna-warna. Sel cone banyak terkonsentrasi pada fovea yakni bagian tengah retina yang berhadapan langsung dengan lensa. Pada fovea terdapat 160.000 sel cone per mm2. Sel cone memiliki sensitivitas yang rendah pada cahaya sehingga membuat kita susah membedakan warna di tempat gelap. Pandangan di tempat gelap sebagian besar bergantung pada sel rod sehingga kesan pandangan yang kita rasakan adalah abu-abu dengan ketajaman yang rendah. Di tempat gelap kita akan kesulitan memandang objek kecil dengan pandangan yang lurus, hal ini terjadi karena dengan sudut pandangan yang lurus cahaya dari objek akan jatuh pada fovea yang kaya akan sel cone. Hal tersebut dapat diatasi dengan sedikit memiringkan sudut pandangan sehingga cahaya yang masuk ke mata jatuh pada sel-sel rod dan pandangan menjadi lebih jelas. Sel cone pada mata manusia terdiri atas tiga jenis berdasarkan molekul opsin penyusunnya. Komposisi opsin ini menentukan kepekaan sel cone pada warna tertentu.

Gambar 4. Grafik kemampuan tiga jenis sel cone dalam menyerap masing-masing panjang gelombang cahaya.

Buta warna terjadi akibat tidak adanya atau tidak berfungsinya satu atau lebih dari ketiga jenis sel cone. Seberapa banya jenis sel cone yang tidak berfungsi inilah yang menentukan buta warna parsial atau buta warna total. Sebagian besar buta warna terjadi pada tidak berfungsinya sel cone warna merah-hijau.
Warna putih terjadi ketika seluruh panjang gelombang cahaya tampak mencapai sel-sel cone dengan intensitas yang hampir sama besar. Saat siang hari kita melihat matahari berwarna putih hal ini terjadi karena keseluruhan panjang gelombang cahaya tampak dari matahari dapat mencapai sel cone. Namun saat malam hari bintang yang lebih dingin dari matahari akan tampak lebih merah karena bintang tersebut meradiasikan cahaya dengan panjang gelombang yang panjang. Bintang yang lebih panas dari matahari akan meradiasikan cahaya dengan panjang gelombang yang pendek sehingga tampak lebih biru. Bintang yang bersuhu hampir sama dengan matahari akan tampak berwarna putih. Perubahan panjang gelombang radiasi akibat suhu ini dapat dijelaskan dengan hukum pergeseran Wien yang menyatakan bahwa ketika temperatur meningkat maka puncak emisi spektral menjadi lebih tinggi dan panjang gelombangnya akan bergeser. Gambar berikut menunjukkan pergeseran panjang gelombang dari merah menjadi ungu akibat kenaikan temperatur.

Gambar 5. Grafik emisi spektral radiasi pada tiga temperatur berbeda.

Material-material yang tidak cukup panas untuk mengemisikan radiasi di area panjang gelombang cahaya tampak dapat memiliki warna dengan cara menyerap secara selektif panjang gelombang tertentu dan memantulkan panjang gelombang cahaya tampak lainnya yang berasal dari suatu sumber radiasi seperti matahari atau lampu. Misalnya benda-benda di sekitar kita yang tampak merah adalah akibat penyerapan seluruh panjang gelombang cahaya tampak oleh benda tersebut kecuali panjang gelombang merah yang dipantulkan hingga sampai ke mata kita. Benda berwarna biru terjadi karena benda tersebut hanya memantulkan panjang gelombang biru ke mata kita dan menyerap panjang gelombang cahaya lainnya. Demikian pula yang terjadi pada warna-warna lainnya. Namun ketika benda menyerap keseluruhan panjang gelombang cahaya tampak dan tidak ada yang dipantulkan ke mata kita maka terjadilah warna hitam. Ketika keseluruhan panjang gelombang tampak dipantulkan oleh suatu benda ke mata kita dan tidak ada yang diserap maka terjadilah warna putih.


Gambar 6. Ilustrasi pembentukan warna merah, hitam, dan putih dari cahaya polikromatik matahari. Warna merah hanya memantulkan panjang gelombang merah ke mata dan menyerap panjang gelombang warna lainnya (www.dayglo.com dan www.chem.purdue.edu).

Sampai di sini kita telah tahu konsep dasar mengapa benda memiliki warna, apa yang terjadi pada mata kita sehingga kita bisa melihat warna, dan mengapa bintang dan matahari kadang berbeda warna. Namun mengapa langit berwarna biru ketika siang?, mengapa langit berwarna jingga ketika pagi dan senja?, mengapa awan berwarna putih?, mengapa awan terkadang berwarna hitam ketika hujan lebat?, mengapa gunung berwarna biru ketika dilihat dari kejauhan?, dan mengapa matahari berwarna merah ketika senja? Untuk menjawabnya tunggu posting selanjutnya.

Referensi :

Ahrens, C. D., Henson, R., 2014, Meteorology today : an introduction to weather, climate, and the environment, 11th ed., Massachusetts, Cengage Learning.

Sadava, D. E., Hillis, D. M., Heller, H. C., Berenbaum, M. R., 2011, Life: The Science of Biology, 9th ed., Virginia, W. H. Freeman & Co.

Young, H. D., Freedman, R. A., Ford, A. L., 2012, Sears and Zemansky's university physics : with modern physics, 13th ed., Addison-Wesley.

Rabu, 06 Januari 2016

Kemagnetan purba (paleomagnetik)

Pendahuluan
Kemagnetan purba adalah ilmu yang mempelajari fosil magnet yang terekam pada batuan tertentu. Jika magnet yang terekam pada batuan terjadi ketika batuan terbentuk, maka orientasi magnetnya dapat digunakan untuk menentukan lintang asal pembentukan batuan tersebut. Jika lintang purba yang didapatkan ternyata berbeda dengan lokasi lintang batuan saat ini, berarti bahwa batuan tersebut telah berpindah posisi. Namun jika ditemukan bukti-bukti bahwa terdapat pola perpindahan yang berbeda pada batuan berumur sama di benua yang berbeda, maka dapat dimungkinkan terjadinya gerakan relatif. Di sinilah pengukuran paleomagnetik akan membuktikan terjadinya continental drift dengan memberikan perkiraan kuantitatif terhadap pergerakan relatif benua.

Magnetisasi batuan

Terjadinya sifat magnetik
Substansi mineral paramagnetik terdiri atas atom-atom yang memiliki jumlah elektron ganjil. Medan magnetik dibangkitkan oleh gerakan spin dan orbital elektron. Dalam subkulit yang memuat elektron berpasangan, medan magnetik yang terbentuk akan saling meniadakan. Terdapatnya elektron-elektron yang tidak berpasangan pada substansi paramagnetik menjadikan atom-atom bersifat magnetik dan memiliki dipol.

Terjadinya induksi medan luar
Ketika substansi paramagnetik diletakkan pada medan magnetik eksternal yang lemah, misalnya medan magnet bumi, dipol-dipol atom akan bergeser hingga arahnya sejajar dengan arah medan eksternal. Inilah yang disebut induksi magnetik. Jika medan magnet eksternal ditiadakan dari substansi paramagnetik, maka induksi akan hilang dan dipol-dipol akan kembali ke posisi asalnya.

Terjadinya sifat ferromagnetik
Substansi paramagnetik yang terdiri atas elektron tak berpasangan dalam jumlah besar dinamakan ferromagnetik. Struktur magnetik pada substansi tersebut cenderung berubah menjadi domain-domain magnetik dalam jumlah besar. Pada domain-domain tersebut atom-atom akan saling berpasangan akibat interaksi medan magnetik dari elektron-elektron tak berpasangan. Interaksi ini hanya terjadi pada suhu di bawah suhu Currie, karena jika suhu telah melampaui suhu Currie maka tingkat energi pada domain akan menghalangi terjadinya ikatan magnetik dalam atom sehingga substansi akan bersifat paramagnetik biasa.

Terjadinya magnetisasi remanen pada batuan
Di dalam masing-masing domain akan terjadi proses penyejajaran pada dipol-dipol atom yang saling terhubung. Hal ini membuat domain memiliki arah total magnetik. Ketika diletakkan pada pengaruh medan magnetik eksternal, ukuran domain yang berarah sama dengan medan eksternal akan lebih besar dari domain pada arah lainnya. Ketika pengaruh medan eksternal ditiadakan, domain-domain yang telah berubah ukuran tidak kembali ke bentuk semula sehingga substansi magnetik merepresentasikan arah pengaruh medan eksternal. Sifat magnetisasi yang demikian inilah yang disebut sebagai kemagnetan permanen atau kemagnetan remanen.

Magnetisasi remanen alami (natural remanent magnetization [NRM])

Klasifikasi magnetisasi remanen alami
Berdasarkan proses terjadinya magnetisasi remanen alami pada batuan, magnetisasi remanen dibedakan menjadi magnetisasi remanen primer dan magnetisasi remanen sekunder. Magnetisasi remanen primer terdiri atas thermoremanent magnetization (TRM) dan detrital remanent magnetization (DRM). Magnetisasi remanen sekunder terdiri atas chemical remanent magnetization (CRM), isothermal remanent magnetization (IRM), dan viscous remanent magnetization (VRM). Tipe magnetisasi TRM, DRM, dan CRM bersifat kuat dan tetap stabil dalam preiode waktu yang lama, sedangkan tipe magnetisasi sekunder lainnya bersifat lemah dan relatif lebih mudah dihilangkan.

Magnetisasi remanen primer
Pada batuan beku proses magnetisasi remanen primer yang terjadi adalah TRM. Magnetisasi tersebut terekam ketika batuan dalam fase lelehan dengan suhu di bawah suhu Currie. Pada fase ini mineral ferromagnetic batuan merekam medan magnet yang sama dengan medan geomagnetik pada waktu itu dan terabadikan ketika batuan membeku.
Pada batuan sedimen proses magnetisasi remanen yang terjadi adalah DRM. Ketika partikel sedimen berada di kolom air, mineral ferromagnetic menyesuaikan arahnya dengan medan geomagnetik. Ketika mencapai dasar, partikel-partikel akan memipih. Dalam proses pemipihan tersebut partikel hanya akan tetap mempertahankan arah medan geomagnetik dan tidak mempertahankan inklinasinya (Gambar 1). Setelah proses penimbunan terjadi, ketika sedimen dalam fase lumpur basah, partikel-partikel magnetik kembali menyesuaikan arahnya searah dengan medan geomagnetik, proses ini menghasilkan aktivitas mikroseismik dan orientasi magnetnya kemudian terabadikan ketika batuan mengeras.
Gambar 1. Proses detrital remanent magnetization

Magnetisasi remanen sekunder
Magnetisasi remanen sekunder terjadi pada fase batuan selanjutnya akibat berbagai mekanisme setelah mengalami magnetisasi remanen primer.
CRM terjadi ketika meneral ferromagnetic terbentuk akibat reaksi kimia, misalnya oksidasi. Ketika tersedia cukup mineral untuk membentuk satu atau lebih domain, butiran-butiran mineral dapat termagnetisasi pada arah medan geomagnetik saat reaksi kimia berlangsung. CRM dapat terjadi sesaat setelah batuan terbentuk, seperti dalam proses diagenesis dan dalam proses metamorfosis pada umur batuan tertentu.
IRM terjadi dalam batuan ketika batuan tersebut terkena medan magnetik yang sangat kuat, seperti sambaran petir.
VRM terjadi ketika batuan berada dalam pengaruh medan magnetik eksternal yang relatif lemah dalam jangka waktu yang lama sehingga domain-domain magnetik melonggar dan mengikuti arah medan eksternal tersebut.

Cara mendapatkan informasi magnetisasi primer
Untuk mengekstrak informasi orientasi magnetisasi remanen ketika batuan terbentuk dapat dilakukan dengan menghilangkan komponen magnetisasi lemah (VRM dan IRM) yang terkandung pada batuan, yang disebut proses magnetic cleaning. Proses magnetic cleaning selain digunakan untuk memperoleh informasi orientasi magnet juga digunakan untuk memperoleh informasi seberapa kuat batuan termagnetisasi. Proses ini dilakukan dengan memberikan intensitas medan balikan atau dengan memberikan pemanasan suhu. Alat yang digunakan adalah spinner magnetometer atau superconducting magnetometer. superconducting magnetometer merupakan alat pengukur orientasi magnetisasi remanen batuan yang sangat sensitif dan mampu mengukur orientasi pada batuan dengan konsentrasi ferromagnetic yang sangat rendah.

Medan geomagnetik lampau dan saat ini

Asal-usul medan geomagnetik dan pendekatannya
Medan magnet bumi diibaratkan berasal dari magnet batang yang sangat besar tertanam di dalam bumi dan membentuk sudut 11o terhadap sumbu rotasi. Tentunya tidak mungkin terdapat magnet batang dalam bumi yang secara magnetostatis menjadi sumber medan magnet bumi, karena faktanya suhu di dalam bumi jauh lebih besar dari suhu Currie sehingga magnet batang tersebut harus memiliki magnetisasi yang sangat besar untuk dapat membangkitkan medan magnet. Namun pendekatan magnet bumi sebagai magnet batang sangat bermanfaat dalam menyederhanakan perhitungan untuk memprediksi medan geomagnet pada tiap lokasi di bumi. Medan geomagnetik berasal dari proses yang dinamis akibat sirkulasi konvektif muatan listrik di dalam fluida inti luar bumi, yang disebut proses magnetohydrodynamics.

Variasi secular dan cara mereduksinya
Medan geomagnetik selalu mengalami perubahan terhadap waktu. Perubahan terjadi akibat ketidakseragaman pada pola sirkulasi konvektif dalam inti bumi. Ketidakseragaman ini disebut dengan variasi secular. Akibat fenomena tersebut arah medan magnetik pada tiap lokasi geografis bumi berubah secara acak terhadap medan magnet hasil perhitungan menggunakan model batang. Perubahan tersebut terjadi dalam periode ribuan tahun. Dalam studi paleomagnet, efek variasi secular ini dapat direduksi dengan mengumpulkan sampel dari suatu tempat yang menjangkau interval stratigrafi ribuan tahun dan kemudian merata-ratakan sampel-sampel data tersebut. Dari proses reduksi ini didapatkan fakta bahwa medan geomagnetik lampau dibangkitkan oleh kutub-kutub dengan lokasi yang mendekati sejajar dengan sumbu rotasi.

Cara memperkirakan posisi kutub purba
Parameter paleomagnetik yang didapatkan dari pengukuran magnetisasi remanen primer batuan adalah intensitas, azimut, dan inklinasi geomagnetik pada waktu dan tempat dimana batuan tersebut terbentuk. Dengan menggunakan asumsi model axial geocentric dipol (model magnet batang), maka sudut inklinasi I dapat digunakan untuk menentukan lintang purba ϕ berdasarkan hubungan 2 tan ϕ = tan I. Dengan diketahuinya lintang purba dan azimut purba, lokasi semu kutub purba dapat dihitung. Perhitungan yang dilakukan harus dikombinasikan dengan penentuan umur sampel dengan menggunakan metode radiometrik atau biostratigrafi. Hasil yang didapatkan dari perhitungan adalah lokasi semu kutub utara magnetik pada waktu tertentu pada benua tempat sampel didapatkan. Analisis paleomagnetik dari sampel-sampel data lebih lanjut digunakan untuk menentukan bagaimana posisi kutub semu berpindah terhadap permukaan bumi.

Ketidakpastian hasil perkiraan
Penting untuk diketahui bahwa arah magnetisasi remanen tidak memberikan perkiraan posisi lintang purba sebenarnya karena dalam perhitungan digunakan model kutub simetris, padahal sebenarnya medan dipol tidak simetris. Hal ini menimbulkan ketidakpastian posisi purba masing-masing sampel. Ketidakpastian posisi yang terjadi digambarkan sepanjang lingkaran lintang purba yang berpusat di kutub purba.

Paleomagnetik sebagai bukti continental drift
Adanya fakta paleomagnetik bahwa posisi kutub magnet purba berbeda dengan posisi kutub magnet saat ini mengindikasikan terjadinya pergeseran relatif kutub magnet terhadap sumbu rotasi sepanjang waktu geologi. Kemungkinan lain adalah kutub magnet tetap pada posisinya, yang berpindah adalah posisi lempeng tempat sampel ditemukan (terjadi continental drift). Tampaknya perpindahan posisi kutub magnet dengan jarak yang jauh dari sumbu rotasi (kutub geografis) tidak mungkin terjadi karena seperti telah diketahui, model teoritis tentang asal-usul medan magnet telah memprediksikan bahwa posisi dominan kutub magnet adalah sejajar dengan sumbu rotasi bumi. Oleh karena itu studi paleomagnetik dapat digunakan sebagai bukti kuantitatif terjadinya continental drift.

Pembalikan kutub magnet
Penemuan mutakhir dari penelitian paleomagnetik yaitu dalam setiap pengamatan didapatkan setengah dari sampel menunjukkan arah magnetisasi remanen primer yang berbeda 180o dari arah normal. Kendati ada kemungkinan terjadi pembalikan kemagnetan oleh material batuan itu sendiri, diyakini telah terjadi fenomena luar biasa, yakni pembalikan polaritas medan geomagnetik. Medan magnet dapat tetap dalam keadaan normal selama jutaan tahun, kemudian dalam interval ratusan tahun berikutnya kutub utara magnetik menjadi kutub selatan magnetik. Pembalikan polaritas terjadi dengan acak, tetapi memberikan dampak pada seluruh wilayah di bumi secara serentak. Oleh karena itu, kombinasi antara periode pembalikan polaritas dengan penanggalan radiometrik atau penanggalan paleontologi dapat menghasilkan skala waktu polaritas.

Kurva pengembaraan semu posisi kutub magnetik

Penyajian data paleomagnetik
Terdapat dua cara dalam menyajikan data paleomagnetik. Pertama dengan mengeplot benua menjadi rangkaian posisi berdasarkan umur sampel batuan dan lokasi semu lintang purba tempat sampel batuan ditemukan (Gambar 2).

Gambar 2. Penyajian data paleomagnetik lempeng benua Amerika Selatan dengan asumsi posisi kutub tetap dan posisi benua bergeser (berdasarkan data lintang purba dan umur sampel batuan).

Cara kedua adalah dengan menganggap posisi benua tidak berubah kemudian mengeplot posisi semu kutub magnetik pada berbagai umur geologi sampel batuan. Titik-titik posisi kutub magnetik pada berbagai waktu geologi tersebut kemudian dihubungkan dengan garis sehingga membentuk jalur yang disebut apparent polar wander (APW) path (Gambar 3).


Gambar 3. Penyajian data paleomagnetik dengan asumsi posisi benua tetap dan posisi kutub bergeser membentuk jalur APW.

Kedua cara tersebut tidak menggambarkan kejadian yang sesungguhnya, namun pendekatan tersebut dapat mengatasi minimnya akurasi lintang purba dan memberikan gambaran informasi paleomagnetik pada wilayah yang berbeda dalam satu diagram.

Bukti kuantitatif peristiwa continental drift
Berdasarkan pengamatan paleomagnetik didapatkan fakta bahwa posisi semu kutub magnetik berbeda-beda untuk sampel batuan yang berbeda umur meski dalam benua yang sama. Hal tersebut menunjukkan bawa benua telah bergeser sepanjang permukaan bumi. Fakta lain yang didapatkan adalah bahwa jalur APW berbeda-beda untuk benua yang berbeda. Hal tersebus menunjukkan dengan jelas bahwa telah terjadi pergerakan relatif antarbenua, yakni continental drift. Gambar 4 menunjukkan jalur APW pada benua Amerika Utara dan benua Eropa dari zaman Ordovician hingga Jurassic.

Gambar 4. Jalur APW pada Amerika Utara (lingkaran hitam, garis hitam) dan Eropa (lingkaran putih, garis putus-putus). Waktu pada masing-masing posisi kutub dinyatakan dalam satuan juta tahun yang lalu.

Gambar 5 menunjukkan jalur APW pada kedua benua setelah posisi benua Eropa dan jalur APW-nya digeser ke Samudera Atlantik.


Gambar 5. Jalur APW pada Amerika Utara (lingkaran hitam, garis hitam) dan Eropa (lingkaran putih, garis putus-putus) setelah posisi benua Eropa digeser ke Samudera Atlantik.

Tampak bahwa jalur APW benua Eropa dan Amerika Utara sangat identik. Hal tersebut menunjukkan pada awalnya kedua benua bersatu kemudian berpisah sekitar 400 juta tahun yang lalu pada batas Caledonian Orogeny hingga terbukanya Samudera Alantik.

Bukti Siklus Wilson berdasarkan APW
Jalur APW dapat digunakan untuk menginterpretasi pergerakan, tumbukan, dan gangguan lempeng. Jalur APW khususnya sangat bermanfaat untuk menginterpretasi keadaan benua zaman Mesozoic akhir, sebelum zaman tersebut keadaan lempeng tidak dapat ditelusuri dari pola lineasi magnetik di sekitar cekungan samudera. Jalur APW yang ditunjukkan oleh Gambar 6 merepresentasikan terjadinya siklus wilson secara utuh tentang pembukaan dan menutupan cekungan samudera antara dua benua.

Gambar 6. Jejak-jejak paleomagnetik dalam konvergensi dan divergensi lempeng.

Pada keadaan awal segmen A dan segmen B berada pada lempeng benua yang sama yang ditunjukkan oleh kesamaan jalur APW. Kemudian mulai terjadi perbedaan jalur APW pada waktu ke 4 yang menandakan terjadinya proses awal pembukaan celah samudera. Pada tahap selanjutnya kedua jalur menunjukkan pola yang sangat berbeda yang berarti segmen A dan segmen B telah menjadi dua benua dipisahkan oleh samudera. Kemudian kedua segmen mulai menunjukkan pola konvergen pada waktu ke 8 hingga akhirnya bertemu kembali dan menyatu pada waktu ke 12.

Rekonstruksi paleogeografi

Data paleomagnetik harus dikombinasikan dengan anomali magnet linier lantai samudera untuk dapat mengidentifikasi dengan akurat posisi kutub purba dan ekuator purba. Rekonstruksi posisi relatif benua dalam kurun waktu kurang dari 200 juta tahun yang lalu (zaman Mesozoic akhir) dapat dilakukan dengan menggunakan informasi yang rinci tentang evolusi cekungan samudera berdasarkan anomali magnet linier lantai samudera. Namun untuk rekonstruksi pada kurun waktu lebih dari 200 juta tahun yang lalu hanya dapat dilakukan dengan data paleomagnetik dan hubungan geologi karena tidak ada lantai samudera yang berumur lebih dari 200 juta tahun yang lalu.

Referensi
Keary, P., Klepeis, K.A., dan Vine, F.J. (2009). Global Tectonics (3rd Ed.). Oxford: Wiley-Blackwell.