Pendahuluan
Kemagnetan purba adalah ilmu yang mempelajari fosil magnet yang terekam pada batuan tertentu.
Jika magnet yang terekam pada batuan terjadi ketika batuan terbentuk, maka
orientasi magnetnya dapat digunakan untuk menentukan lintang asal pembentukan
batuan tersebut. Jika lintang purba yang didapatkan ternyata berbeda dengan
lokasi lintang batuan saat ini, berarti bahwa batuan tersebut telah berpindah
posisi. Namun jika ditemukan bukti-bukti bahwa terdapat pola perpindahan yang
berbeda pada batuan berumur sama di benua yang berbeda, maka dapat dimungkinkan
terjadinya gerakan relatif. Di sinilah pengukuran paleomagnetik akan
membuktikan terjadinya continental drift
dengan memberikan perkiraan kuantitatif terhadap pergerakan relatif benua.
Magnetisasi
batuan
Terjadinya
sifat magnetik
Substansi
mineral paramagnetik terdiri atas atom-atom yang memiliki jumlah elektron
ganjil. Medan magnetik dibangkitkan oleh gerakan spin dan orbital
elektron. Dalam subkulit yang memuat elektron berpasangan, medan magnetik yang
terbentuk akan saling meniadakan. Terdapatnya elektron-elektron yang tidak
berpasangan pada substansi paramagnetik menjadikan atom-atom bersifat magnetik
dan memiliki dipol.
Terjadinya
induksi medan luar
Ketika
substansi paramagnetik diletakkan pada medan magnetik eksternal yang lemah,
misalnya medan magnet bumi, dipol-dipol
atom akan bergeser hingga arahnya sejajar dengan arah medan eksternal. Inilah
yang disebut induksi magnetik. Jika medan magnet eksternal ditiadakan dari substansi
paramagnetik, maka induksi akan hilang dan dipol-dipol
akan kembali ke posisi asalnya.
Terjadinya
sifat ferromagnetik
Substansi
paramagnetik yang terdiri atas elektron tak berpasangan dalam jumlah besar
dinamakan ferromagnetik. Struktur
magnetik pada substansi tersebut cenderung berubah menjadi domain-domain
magnetik dalam jumlah besar. Pada domain-domain tersebut atom-atom akan saling
berpasangan akibat interaksi medan magnetik dari elektron-elektron tak
berpasangan. Interaksi ini hanya terjadi pada suhu di bawah suhu Currie, karena
jika suhu telah melampaui suhu Currie maka tingkat energi pada domain akan
menghalangi terjadinya ikatan magnetik dalam atom sehingga substansi akan
bersifat paramagnetik biasa.
Terjadinya
magnetisasi remanen pada batuan
Di
dalam masing-masing domain akan terjadi proses penyejajaran pada dipol-dipol atom yang saling terhubung.
Hal ini membuat domain memiliki arah total magnetik. Ketika diletakkan pada
pengaruh medan magnetik eksternal, ukuran domain yang berarah sama dengan medan
eksternal akan lebih besar dari domain pada arah lainnya. Ketika pengaruh medan
eksternal ditiadakan, domain-domain yang telah berubah ukuran tidak kembali ke
bentuk semula sehingga substansi magnetik merepresentasikan arah pengaruh medan
eksternal. Sifat magnetisasi yang demikian inilah yang disebut sebagai
kemagnetan permanen atau kemagnetan remanen.
Magnetisasi
remanen alami (natural remanent
magnetization [NRM])
Klasifikasi
magnetisasi remanen alami
Berdasarkan
proses terjadinya magnetisasi remanen alami pada batuan, magnetisasi remanen
dibedakan menjadi magnetisasi remanen primer dan magnetisasi remanen sekunder.
Magnetisasi remanen primer terdiri atas thermoremanent
magnetization (TRM) dan detrital remanent
magnetization (DRM). Magnetisasi remanen sekunder terdiri atas chemical remanent magnetization (CRM), isothermal remanent magnetization (IRM),
dan viscous remanent magnetization
(VRM). Tipe magnetisasi TRM, DRM, dan CRM bersifat kuat dan tetap stabil dalam
preiode waktu yang lama, sedangkan tipe magnetisasi sekunder lainnya bersifat
lemah dan relatif lebih mudah dihilangkan.
Magnetisasi
remanen primer
Pada
batuan beku proses magnetisasi remanen primer yang terjadi adalah TRM. Magnetisasi
tersebut terekam ketika batuan dalam fase lelehan dengan suhu di bawah suhu
Currie. Pada fase ini mineral ferromagnetic
batuan merekam medan magnet yang sama dengan medan geomagnetik pada waktu itu
dan terabadikan ketika batuan membeku.
Pada
batuan sedimen proses magnetisasi remanen yang terjadi adalah DRM. Ketika
partikel sedimen berada di kolom air, mineral ferromagnetic menyesuaikan arahnya dengan medan geomagnetik. Ketika
mencapai dasar, partikel-partikel akan memipih. Dalam proses pemipihan tersebut
partikel hanya akan tetap mempertahankan arah medan geomagnetik dan tidak
mempertahankan inklinasinya (Gambar 1). Setelah proses penimbunan terjadi, ketika
sedimen dalam fase lumpur basah, partikel-partikel magnetik kembali
menyesuaikan arahnya searah dengan medan geomagnetik, proses ini menghasilkan
aktivitas mikroseismik dan orientasi magnetnya kemudian terabadikan ketika
batuan mengeras.
Gambar
1. Proses detrital remanent magnetization
Magnetisasi
remanen sekunder
Magnetisasi
remanen sekunder terjadi pada fase batuan selanjutnya akibat berbagai mekanisme
setelah mengalami magnetisasi remanen primer.
CRM
terjadi ketika meneral ferromagnetic
terbentuk akibat reaksi kimia, misalnya oksidasi. Ketika tersedia cukup mineral
untuk membentuk satu atau lebih domain, butiran-butiran mineral dapat
termagnetisasi pada arah medan geomagnetik saat reaksi kimia berlangsung. CRM
dapat terjadi sesaat setelah batuan terbentuk, seperti dalam proses diagenesis
dan dalam proses metamorfosis pada umur batuan tertentu.
IRM
terjadi dalam batuan ketika batuan tersebut terkena medan magnetik yang sangat
kuat, seperti sambaran petir.
VRM
terjadi ketika batuan berada dalam pengaruh medan magnetik eksternal yang
relatif lemah dalam jangka waktu yang lama sehingga domain-domain magnetik melonggar
dan mengikuti arah medan eksternal tersebut.
Cara
mendapatkan informasi magnetisasi primer
Untuk
mengekstrak informasi orientasi magnetisasi remanen ketika batuan terbentuk dapat
dilakukan dengan menghilangkan komponen magnetisasi lemah (VRM dan IRM) yang
terkandung pada batuan, yang disebut proses magnetic
cleaning. Proses magnetic cleaning
selain digunakan untuk memperoleh informasi orientasi magnet juga digunakan
untuk memperoleh informasi seberapa kuat batuan termagnetisasi. Proses ini
dilakukan dengan memberikan intensitas medan balikan atau dengan memberikan
pemanasan suhu. Alat yang digunakan adalah spinner
magnetometer atau superconducting
magnetometer. superconducting
magnetometer merupakan alat pengukur orientasi magnetisasi remanen batuan
yang sangat sensitif dan mampu mengukur orientasi pada batuan dengan
konsentrasi ferromagnetic yang sangat
rendah.
Medan
geomagnetik lampau dan saat ini
Asal-usul
medan geomagnetik dan pendekatannya
Medan
magnet bumi diibaratkan berasal dari magnet batang yang sangat besar tertanam
di dalam bumi dan membentuk sudut 11o terhadap sumbu rotasi.
Tentunya tidak mungkin terdapat magnet batang dalam bumi yang secara
magnetostatis menjadi sumber medan magnet bumi, karena faktanya suhu di dalam
bumi jauh lebih besar dari suhu Currie sehingga magnet batang tersebut harus
memiliki magnetisasi yang sangat besar untuk dapat membangkitkan medan magnet.
Namun pendekatan magnet bumi sebagai magnet batang sangat bermanfaat dalam menyederhanakan
perhitungan untuk memprediksi medan geomagnet pada tiap lokasi di bumi. Medan
geomagnetik berasal dari proses yang dinamis akibat sirkulasi konvektif muatan
listrik di dalam fluida inti luar bumi, yang disebut proses magnetohydrodynamics.
Variasi
secular dan cara mereduksinya
Medan
geomagnetik selalu mengalami perubahan terhadap waktu. Perubahan terjadi akibat
ketidakseragaman pada pola sirkulasi konvektif dalam inti bumi.
Ketidakseragaman ini disebut dengan variasi secular.
Akibat fenomena tersebut arah medan magnetik pada tiap lokasi geografis bumi
berubah secara acak terhadap medan magnet hasil perhitungan menggunakan model
batang. Perubahan tersebut terjadi dalam periode ribuan tahun. Dalam studi
paleomagnet, efek variasi secular ini
dapat direduksi dengan mengumpulkan sampel dari suatu tempat yang menjangkau
interval stratigrafi ribuan tahun dan kemudian merata-ratakan sampel-sampel
data tersebut. Dari proses reduksi ini didapatkan fakta bahwa medan geomagnetik
lampau dibangkitkan oleh kutub-kutub dengan lokasi yang mendekati sejajar
dengan sumbu rotasi.
Cara
memperkirakan posisi kutub purba
Parameter
paleomagnetik yang didapatkan dari pengukuran magnetisasi remanen primer batuan
adalah intensitas, azimut, dan inklinasi geomagnetik pada waktu dan tempat
dimana batuan tersebut terbentuk. Dengan menggunakan asumsi model axial geocentric dipol (model magnet
batang), maka sudut inklinasi I dapat
digunakan untuk menentukan lintang purba ϕ
berdasarkan hubungan 2 tan ϕ = tan I. Dengan diketahuinya lintang purba dan
azimut purba, lokasi semu kutub purba dapat dihitung. Perhitungan yang
dilakukan harus dikombinasikan dengan penentuan umur sampel dengan menggunakan
metode radiometrik atau biostratigrafi. Hasil yang didapatkan dari perhitungan
adalah lokasi semu kutub utara magnetik pada waktu tertentu pada benua tempat
sampel didapatkan. Analisis paleomagnetik dari sampel-sampel data lebih lanjut
digunakan untuk menentukan bagaimana posisi kutub semu berpindah terhadap
permukaan bumi.
Ketidakpastian
hasil perkiraan
Penting
untuk diketahui bahwa arah magnetisasi remanen tidak memberikan perkiraan
posisi lintang purba sebenarnya karena dalam perhitungan digunakan model kutub
simetris, padahal sebenarnya medan dipol tidak simetris. Hal ini menimbulkan
ketidakpastian posisi purba masing-masing sampel. Ketidakpastian posisi yang
terjadi digambarkan sepanjang lingkaran lintang purba yang berpusat di kutub
purba.
Paleomagnetik
sebagai bukti continental drift
Adanya
fakta paleomagnetik bahwa posisi kutub magnet purba berbeda dengan posisi kutub
magnet saat ini mengindikasikan terjadinya pergeseran relatif kutub magnet
terhadap sumbu rotasi sepanjang waktu geologi. Kemungkinan lain adalah kutub
magnet tetap pada posisinya, yang berpindah adalah posisi lempeng tempat sampel
ditemukan (terjadi continental drift).
Tampaknya perpindahan posisi kutub magnet dengan jarak yang jauh dari sumbu
rotasi (kutub geografis) tidak mungkin terjadi karena seperti telah diketahui, model
teoritis tentang asal-usul medan magnet telah memprediksikan bahwa posisi
dominan kutub magnet adalah sejajar dengan sumbu rotasi bumi. Oleh karena itu
studi paleomagnetik dapat digunakan sebagai bukti kuantitatif terjadinya continental drift.
Pembalikan
kutub magnet
Penemuan
mutakhir dari penelitian paleomagnetik yaitu dalam setiap pengamatan didapatkan
setengah dari sampel menunjukkan arah magnetisasi remanen primer yang berbeda
180o dari arah normal. Kendati ada kemungkinan terjadi pembalikan
kemagnetan oleh material batuan itu sendiri, diyakini telah terjadi fenomena
luar biasa, yakni pembalikan polaritas medan geomagnetik. Medan magnet dapat
tetap dalam keadaan normal selama jutaan tahun, kemudian dalam interval ratusan
tahun berikutnya kutub utara magnetik menjadi kutub selatan magnetik.
Pembalikan polaritas terjadi dengan acak, tetapi memberikan dampak pada seluruh
wilayah di bumi secara serentak. Oleh karena itu, kombinasi antara periode pembalikan
polaritas dengan penanggalan radiometrik atau penanggalan paleontologi dapat
menghasilkan skala waktu polaritas.
Kurva
pengembaraan semu posisi kutub magnetik
Penyajian
data paleomagnetik
Terdapat
dua cara dalam menyajikan data paleomagnetik. Pertama dengan mengeplot benua
menjadi rangkaian posisi berdasarkan umur sampel batuan dan lokasi semu lintang
purba tempat sampel batuan ditemukan (Gambar 2).
Gambar
2. Penyajian data paleomagnetik lempeng benua Amerika Selatan dengan asumsi
posisi kutub tetap dan posisi benua bergeser (berdasarkan data lintang purba
dan umur sampel batuan).
Cara
kedua adalah dengan menganggap posisi benua tidak berubah kemudian mengeplot
posisi semu kutub magnetik pada berbagai umur geologi sampel batuan.
Titik-titik posisi kutub magnetik pada berbagai waktu geologi tersebut kemudian
dihubungkan dengan garis sehingga membentuk jalur yang disebut apparent polar wander (APW) path (Gambar
3).
Gambar
3. Penyajian data paleomagnetik dengan asumsi posisi benua tetap dan posisi
kutub bergeser membentuk jalur APW.
Kedua
cara tersebut tidak menggambarkan kejadian yang sesungguhnya, namun pendekatan
tersebut dapat mengatasi minimnya akurasi lintang purba dan memberikan gambaran
informasi paleomagnetik pada wilayah yang berbeda dalam satu diagram.
Bukti
kuantitatif peristiwa continental drift
Berdasarkan
pengamatan paleomagnetik didapatkan fakta bahwa posisi semu kutub magnetik
berbeda-beda untuk sampel batuan yang berbeda umur meski dalam benua yang sama.
Hal tersebut menunjukkan bawa benua telah bergeser sepanjang permukaan bumi.
Fakta lain yang didapatkan adalah bahwa jalur APW berbeda-beda untuk benua yang
berbeda. Hal tersebus menunjukkan dengan jelas bahwa telah terjadi pergerakan
relatif antarbenua, yakni continental
drift. Gambar 4 menunjukkan jalur APW pada benua Amerika Utara dan benua
Eropa dari zaman Ordovician hingga Jurassic.
Gambar
4. Jalur APW pada Amerika Utara (lingkaran hitam, garis hitam) dan Eropa
(lingkaran putih, garis putus-putus). Waktu pada masing-masing posisi kutub
dinyatakan dalam satuan juta tahun yang lalu.
Gambar
5 menunjukkan jalur APW pada kedua benua setelah posisi benua Eropa dan jalur
APW-nya digeser ke Samudera Atlantik.
Gambar
5. Jalur APW pada Amerika Utara (lingkaran hitam, garis hitam) dan Eropa
(lingkaran putih, garis putus-putus) setelah posisi benua Eropa digeser ke
Samudera Atlantik.
Tampak
bahwa jalur APW benua Eropa dan Amerika Utara sangat identik. Hal tersebut
menunjukkan pada awalnya kedua benua bersatu kemudian berpisah sekitar 400 juta
tahun yang lalu pada batas Caledonian Orogeny hingga terbukanya Samudera
Alantik.
Bukti Siklus Wilson berdasarkan APW
Jalur
APW dapat digunakan untuk menginterpretasi pergerakan, tumbukan, dan gangguan
lempeng. Jalur APW khususnya sangat bermanfaat untuk menginterpretasi keadaan
benua zaman Mesozoic akhir, sebelum
zaman tersebut keadaan lempeng tidak dapat ditelusuri dari pola lineasi
magnetik di sekitar cekungan samudera. Jalur APW yang ditunjukkan oleh Gambar 6
merepresentasikan terjadinya siklus wilson secara utuh tentang pembukaan dan
menutupan cekungan samudera antara dua benua.
Gambar
6. Jejak-jejak paleomagnetik dalam konvergensi dan divergensi lempeng.
Pada
keadaan awal segmen A dan segmen B berada pada lempeng benua yang sama yang
ditunjukkan oleh kesamaan jalur APW. Kemudian mulai terjadi perbedaan jalur APW
pada waktu ke 4 yang menandakan terjadinya proses awal pembukaan celah
samudera. Pada tahap selanjutnya kedua jalur menunjukkan pola yang sangat
berbeda yang berarti segmen A dan segmen B telah menjadi dua benua dipisahkan
oleh samudera. Kemudian kedua segmen mulai menunjukkan pola konvergen pada
waktu ke 8 hingga akhirnya bertemu kembali dan menyatu pada waktu ke 12.
Rekonstruksi
paleogeografi
Data
paleomagnetik harus dikombinasikan dengan anomali magnet linier lantai samudera
untuk dapat mengidentifikasi dengan akurat posisi kutub purba dan ekuator
purba. Rekonstruksi posisi relatif benua dalam kurun waktu kurang dari 200 juta
tahun yang lalu (zaman Mesozoic akhir)
dapat dilakukan dengan menggunakan informasi yang rinci tentang evolusi
cekungan samudera berdasarkan anomali magnet linier lantai samudera. Namun
untuk rekonstruksi pada kurun waktu lebih dari 200 juta tahun yang lalu hanya
dapat dilakukan dengan data paleomagnetik dan hubungan geologi karena tidak ada
lantai samudera yang berumur lebih dari 200 juta tahun yang lalu.
Referensi
Keary,
P., Klepeis, K.A., dan Vine, F.J. (2009). Global
Tectonics (3rd Ed.). Oxford: Wiley-Blackwell.
Alhamdulillah dapat ilmu melalui artikel ini, terima kasih
BalasHapusterima kasih banyak bapak :)
BalasHapus